Wednesday, November 28, 2007

Marriage as Allah's Favors (1)

By Sheikh Mahmoud M.Al-Istambulli

Quranic Verses:

The legal basis for marriage, prior to scholarly consensus and the sunnah is such Quranic verses as,

{And among His Signs is this, that He created for you mates from among yourselves, that ye may dwell in tranquility with them, and He has put love and mercy between your (hearts): verily in that are Signs for those who reflect.} 030.021

{It is He Who created you from a single person, and made his mate of like nature, in order that he might dwell (2) with her (in love). 007.189

--------------------------------------------------------

1. Life is tough without enjoyment. One of the main objectives of marriage is the preservation and continuation of the human race. Such an objective is encouraged by instinct and the processes of nature for the procreation of the human species.

2. Husband wife relationship is not merely a utilitarian relationship. It is a spiritual relationship and sustains and generates love, kindness, mercy, compassion, mutual, confidence, self-sacrifice, solace and succour. It is to attain psychological, emotional and spiritual companionship.

Marriage, the Best Bond for the Lovers(1)

By Sheikh Mahmoud M.Al-Istambulli

Ibn A’bbas (May Allah have mercy on them both) related that a man came to the prophet (peace be upon him) and said O messenger of Allah! I am a guardian of an orphan girl. Two men betrothed that girl: one of them is wealthy and the other is poor. We like to give her to the wealthy but she wants the poor! The Prophet said, Marriage is the best thing for lovers. (Reported by Ibn Majah)

-----------------------------------------------

1. Love does not, mean the lustful desire. This is a false love. No sooner does a man desire a woman than he hates hereafter satisfying himself. Love, which is mainly portrayed in romantic stories, is just a kind of fiction and dreams. Love only grows between spouses. As years pass, company and kind treatment enhance such love. Real love gradually replaces the illusive love.

Persiapan Muslimah Menjelang Pernikahan Permasalahan dan Kiat-kiat Menghadapinya

Sebagai seorang muslimah, kita semua tentu mengharapkan pada saatnya nanti akan bertemu dengan pendamping yang akan menjadi pemimpin dalam rumah tangga kita. Harapannya adalah, dapat membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawwadah warrahmah. Berikut ini adalah sebuah artikel yang bagus untuk disimak yang insya Allah bisa menjadi bekal bagi para muslimah pada khususnya, juga seluruh muslimin dan muslimat dimanapun berada pada umumnya, mengenai apa yang harus dipersiapkan menjelang pernikahan. Silahkan disimak.

1. Pendahuluan. Allah telah menciptakan segala sesuatu secara berpasang-pasangan, tetumbuhan, pepohonan, hewan, semua Allah ciptakan dalam sunnah keseimbangan & keserasian. Begitupun dengan manusia, pada diri manusia berjenis laki-laki terdapat sifat kejantanan/ketegaran dan pada manusia yang berjenis wanita terkandung sifat kelembutan/kepengasihan. Sudah menjadi sunatullah bahwa antara kedua sifat tersebut terdapat unsur tarik menarik dan kebutuhan untuk saling melengkapi.

Untuk merealisasikan terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut menjadi sebuah hubungan yang benar-benar manusiawi maka Islam telah datang dengan membawa ajaran pernikahan Islam menjadikan lembaga pernikahan sebagai sarana untuk memadu kasih sayang diantara dua jenis manusia. Dengan jalan pernikahan itu pula akan lahir keturunan secara terhormat. Maka adalah suatu hal yang wajar jika pernikahan dikatakan sebagai suatu peristiwa yang sangat diharapkan oleh mereka yang ingin menjaga kesucian fitrah.

Dan bahkan Rosulullah SAW dalam sebuah hadits secara tegas memberikan ultimatum kepada ummatnya: “Barang siapa telah mempunyai kemampuan menikah kemudian ia tidak menikah maka ia bukan termasuk umatku” (H.R. Thabrani dan Baihaqi).

2. Persiapan Pra Nikah bagi muslimah . Seorang muslimah sholihah yang mengetahui urgensi dan ibadah pernikahan tentu saja suatu hari nanti ingin dapat bersanding dengan seorang laki-laki sholih dalam ikatan suci pernikahan. Pernikahan menuju rumah tangga samara (sakinah, mawaddah & rahmah) tidak tercipta begitu saja, melainkan butuh persiapan-persiapan yang memadai sebelum muslimah melangkah memasuki gerbang pernikahan.

Nikah adalah salah satu ibadah sunnah yang sangat penting, suatu mitsaqan ghalizan (perjanjian yang sangat berat). Banyak konsekwensi yang harus dijalani pasangan suami-isteri dalam berumah tangga. Terutama bagi seorang muslimah, salah satu ujian dalam kehidupan diri seorang muslimah adalah bernama pernikahan. Karena salah satu syarat yang dapat menghantarkan seorang isteri masuk surga adalah mendapatkan ridho suami. Oleh sebab itu seorang muslimah harus mengetahui secara mendalam tentang berbagai hal yang berhubungan dengan persiapan-persiapan menjelang memasuki lembaga pernikahan. Hal tersebut antara lain :

A. Persiapan spiritual/moral (Kematangan visi keislaman) Dalam tiap diri muslimah, selalu terdapat keinginan, bahwa suatu hari nanti akan dipinang oleh seorang lelaki sholih, yang taat beribadah dan dapat diharapkan menjadi qowwam/pemimpin dalam mengarungi kehidupan di dunia, sebagai bekal dalam menuju akhirat. Tetapi, bila kita ingat firman Allah dalam Alqurâ’an bahwa wanita yang keji, adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik….” (QS An-Nuur: 26).

Bila dalam diri seorang muslimah memiliki keinginan untuk mendapatkan seorang suami yang sholih, maka harus diupayakan agar dirinya menjadi sholihah terlebih dahulu. Untuk menjadikan diri seorang muslimah sholihah, maka bekalilah diri dengan ilmu-ilmu agama, hiasilah dengan akhlaq islami, tujuan nya bukan hanya semata untuk mencari jodoh, tetapi lebih kepada untuk beribadah mendapatkan ridhoNya. Dan media pernikahan adalah sebagai salah satu sarana untuk beribadah pula.

B. Persiapan konsepsional (memahami konsep tentang lembaga pernikahan)

Pernikahan sebagai ajang untuk menambah ibadah & pahala : meningkatkan pahala dari Allah, terutama dalam Shalat Dua rokaat dari orang yang telah menikah lebih baik daripada delapan puluh dua rokaatnya orang yang bujang” (HR. Tamam).

Pernikahan sebagai wadah terciptanya generasi robbani, penerus perjuangan menegakkan dienullah. Adapun dengan lahirnya anak yang sholih/sholihah maka akan menjadi penyelamat bagi kedua orang tuanya.

Pernikahan sebagai sarana tarbiyah (pendidikan) dan ladang dakwah. Dengan menikah, maka akan banyak diperoleh pelajaran-pelajaran & hal-hal yang baru. Selain itu pernikahan juga menjadi salah satu sarana dalam berdakwah, baik dakwah ke keluarga, maupun ke masyarakat.

C. Persiapan kepribadian
Penerimaan adanya seorang pemimpin. Seorang muslimah harus faham dan sadar betul bila menikah nanti akan ada seseorang yang baru kita kenal, tetapi langsung menempati posisi sebagai seorang qowwam/pemimpin kita yang senantiasa harus kita hormati & taati. Disinilah nanti salah satu ujian pernikahan itu. Sebagai muslimah yang sudah terbiasa mandiri, maka pemahaman konsep kepemimpinan yang baik sesuai dengan syariat Islam akan menjadi modal dalam berinteraksi dengan suami.

Belajar untuk mengenal (bukan untuk dikenal). Seorang laki-laki yang menjadi suami kita, sesungguhnya adalah orang asing bagi kita. Latar belakang, suku, kebiasaan semuanya sangat jauh berbeda dengan kita menjadi pemicu timbulnya perbedaan. Dan bila perbedaan tersebut tidak di atur dengan baik melalui komunikasi, keterbukaan dan kepercayaan, maka bisa jadi timbul persoalan dalam pernikahan. Untuk itu harus ada persiapan jiwa yang besar dalam menerima & berusaha mengenali suami kita.
D. Persiapan Fisik Kesiapan fisik ini ditandai dengan kesehatan yang memadai sehingga kedua belah pihak akan mampu melaksanakan fungsi diri sebagai suami ataupun isteri secara optimal. Saat sebelum menikah, ada baiknya bila memeriksakan kesehatan tubuh, terutama faktor yang mempengaruhi masalah reproduksi. Apakah organ-organ reproduksi dapat berfungsi baik, atau adakah penyakit tertentu yang diderita yang dapat berpengaruh pada kesehatan janin yang kelak dikandung. Bila ditemukan penyakit atau kelainan tertentu, segeralah berobat.

E. Persiapan Material Islam tidak menghendaki kita berfikiran materialistis, yaitu hidup yang hanya berorientasi pada materi. Akan tetapi bagi seorang suami, yang akan mengemban amanah sebagai kepala keluarga, maka diutamakan adanya kesiapan calon suami untuk menafkahi. Dan bagi fihak wanita, adanya kesiapan untuk mengelola keuangan keluarga. Insyallah bila suami berikhtiar untuk menafkahi maka Allah akan mencukupkan rizki kepadanya. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari ni’mat Allah? (QS. 16:72) ” Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 24:32)”.

F. Persiapan Sosial Setelah sepasang manusia menikah berarti status sosialnya dimasyarakatpun berubah. Mereka bukan lagi gadis dan lajang tetapi telah berubah menjadi sebuah keluarga. Sehingga mereka pun harus mulai membiasakan diri untuk terlibat dalam kegiatan di kedua belah pihak keluarga maupun di masyarakat. “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu. Dan berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,”Q.S. An-Nissa: 36).

Adapun persiapan-persiapan menjelang pernikahan (A hingga F) yang tersebut di atas itu tidak dapat dengan begitu saja kita raih. Melainkan perlu waktu dan proses belajar untuk mengkajinya. Untuk itu maka saat kita kini masih memiliki banyak waktu, belum terikat oleh kesibukan rumah tangga, maka upayakan untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya guna persiapan menghadapi rumah tangga kelak.

3. Pemahaman kriteria dalam memilih atau menyeleksi calon suami

- Utamakan laki-laki yang memiliki pemahaman agama yang baik

- Bagaimana ibadah wajib laki-laki yang dimaksud

- Sejauh mana konsistensi & semangatnya dalam menjalankan syariat Islam

- Bagaimana akhlaq & kepribadiannya

- Bagaimana lingkungan keluarga & teman-temannya

Catatan : Seorang laki-laki yang sholih akan membawa kehidupan seorang wanita menjadi lebih baik, baik di dunia maupun kelak di akhirat .

Sekufu

- Memudahkan proses dalam beradaptasi

- Tapi ini tidak mutlak sifatnya, karena jodoh adalah rahasia Allah

- Batasan-batasan siapa yang yang terlarang untuk menjadi suami (QS 4:23-24; QS2: 221)

4. Langkah-langkah yang ditempuh dalam kaitannya untuk memilih calon

a. Menentukan kriteria calon pendamping (suami ). Diutamakan lelaki yang baik agamanya.

b. Mengkondisikan orang tua dan keluarga , Kadang ketidaksiapan orang tua dan keluarga bila anak gadisnya menikah menjadi suatu kendala tersendiri bagi seorang muslimah untuk menuju proses pernikahan. Penyebab ketidak siapan itu kadang justru berasal dari diri muslimah itu sendiri, misalnya masih menunjukkan sikap kekanak-kanakan, belum dapat bertanggung jawab dsb. Atau kadang dapat juga pengaruh dari lingkungan, seperti belum selesai kuliah (sarjana) tetapi sudah akan menikah. Hal-hal seperti ini harus diantisipasi jauh-jauh hari sebelumnya, agar pelaksanaan menuju pernikahan menjadi lancar.

c. Mengkomunikasikan kesiapan untuk menikah dengan pihak-pihak yang dipercaya Kesiapan seorang muslimah dapat dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang dipercaya, agar dapat turut membantu langkah-langkah menuju proses selanjutnya.

d. Taâ’aruf (Berkenalan) , Proses taâ’aruf sebaiknya dilakukan dengan cara Islami. Dalam Islam proses taâ’aruf tidak sama dengan istilah pacaran. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan kondisi dua insan berlainan jenis yang khalwat atau berduaan. Yang mana dapat membuka peluang terjadinya saling pandang atau bahkan saling sentuh, yang sudah jelas semuanya tidak diatur dalam Islam. Allah SWT berfirman “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” QS 17:32).

Rasulullah SAW bersabda : “Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Bila kita menginginkan pernikahan kita terbingkai dalam ajaran Islami, maka semua proses yang menyertainya, seperti mulai dari mencari pasangan haruslah diupayakan dengan cara yang ihsan & islami.

e. Bermusyawarah dengan pihak-pihak terkait , Bila setelah proses taâ’aruf terlewati, dan hendak dilanjutkan ke tahap berikutnya, maka selanjutnya dapat melangkah untuk mulai bermusyawarah dengan pihak-pihak yang terkait.

f. Istikhoroh , Daya nalar manusia dalam menilai sesuatu dapat salah, untuk itu sebagai seorang msulimah yang senantiasa bersandar pada ketentuan Allah, sudah sebaiknya bila meminta petunjuk dari Allah SWT. Bila calon tersebut baik bagi diri muslimah, agama dan penghidupannya, Allah akan mendekatkan, dan bila sebaliknya maka akan dijauhkan. Dalam hal ini, apapun kelak yang terjadi, maka sikap berprasangka baik (husnuzhon) terhadap taqdir Allah harus diutamakan.

g. Khitbah , Jika keputusan telah diambil, dan sebelum menginjak pelaksanaan nikah, maka harus didahului oleh pelaksanaan khitbah. Yaitu penawaran atau permintaan dari laki-laki kepada wali dan keluarga fihak wanita. Dalam Islam, wanita yang sudah dikhitbah oleh seorang lelaki, maka tidak boleh untuk dikhitbah oleh lelaki yang lain. Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Janganlah kamu mengkhitbah wanita yang sudah dikhitbah saudaranya, sampai yang mengkhitbah itu meninggalkannya atau memberinya izin “(HR. Muttafaq alaihi).
5. Pentingnya mempelajari tata cara nikah sesuai dengan anjuran & syariat Islam

Sebenarnya tata cara pernikahan dalam Islam sangatlah sederhana dibandingkan tata cara pernikahan adata atau agama lain. Karena Islam sangat menginginkan kemudahan bagi pelakunya. Untuk itu memahami tata cara pernikahan yg islami menjadi salah satu kebutuhan pokok bagi calon pasangan muslim. Dengan melaksanakan secara Islami, maka sebisa mungkin untuk menghindarkan diri dari kebiasaan-kebiasaan tata cara pernikahan yang berbau syirik menyekutukan Allah). Karena hanya kepada Allah SWT sajalah kita memohon kelancaran, kemudahan, keselamatan dan kelanggengan pernikahan nanti. Untuk beberapa hal yang harus kita ketahui tentang tatacara nikah adalah masalah sbb:

a. Dewasa (baligh) & Sadar

b. Wali , “Tidak ada nikah kecuali dengan wali” (HR.Tirmidzi J.II Bukhari Muslim dalam Kitabu Nikah),

c. Mahar , “Berikanlah mahar kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan” (QS: 4:4)

- Semakin ringan mahar semakin baik. Seperti sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari Uqbah bin Amir : “Sebaik-baiknya mahar adalah paling ringan (nilainya).”

- Bila tak memiliki materi, boleh berupa jasa. Semisal jasa mengajarkan beberapa ayat al-Qur’an atau ilmu-ilmu agama lainnya. Dalam sebuah hadis Rasulullah berkata kepada seorang pemuda yang dinikahkannya : “Telah aku nikahkan engkau dengannya (wanita) dengan mahar apa yang engkau miliki dari Al-Quran” (HR. Bukhari dan Muslim)

d. Adanya dua orang saksi

e. Proses Ijab Qobul , Proses Ijab Qabul adalah proses perpindahan perwalian dari Ayah/Wali wanita kepada suaminya. Dan untuk kedepannya makan yang bertanggung jawab terhadap diri wanita itu adalah suaminya. Syarat-syarat diatas adalah ketentuan yang harus dipenuhi dalam syarat sahnya prosesi suatu pernikahan. Selain itu dianjurkan untuk mengadakan walimatul ‘ursy, dimana pasangan mempelai sebaiknya diperkenalkan kepada keluarga dan lingkungan sekitar bahwa mereka telah resmi menjadi pasangan suami isteri, sebagai antisipasi terjadinya fitnah.

6. Permasalahan seputar masalah persiapan nikah
a. Sudah siap, tetapi jodoh tidak kunjung datang Rahasia jodoh adalah hanya milik Allah, tidak ada satu orangpun yang dapat meramalkan bila jodohnya datang. Sikap husnuzhon amat diutamakan dalam fase menunggu ini. Sembari terus berikhtiar dengan cara meminta bantuan orang-orang yang terpercaya dan berdo’a memohon pertolongan Allah. Juga upayakan senantiasa memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri. Hindari diri dari berangan-angan, isilah waktu oleh kegiatan-kegiatan positif .

b. Belum siap, tetapi sudah datang tawaran Introspeksi diri, apakah yang membuat diri belum siap ?. Cari penyebab ketidak siapan itu, tingkatkan kepercayaan diri dan fikirkan solusinya. Sangat baik bila mengkomunikasikan masalah ini dengan orang-orang yang dipercaya, sehingga diharapkan dapat membantu proses penyiapan diri. Sembari terus banyak mengkaji urgensi tentang pernikahan berikut hikmah-hikmah yang ada di dalamnya.

7. Penutup
Agama Islam sudah sedemikian dimudahkan oleh Allah SWT, tetap masih saja ada orang yang merasakan berat dalam melaksanakannya karena ketidak tahuan mereka. Allah Taâ’ala telah berfirman: “Allah menghendaki kemmudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu” (Q.S. Al-Baqarah : 185)

Kita lihat, betapa Islam menghendaki kemudahan dalam proses pernikahan. Proses pemilihan jodoh, dalam peminangan, dalam urusan mahar dan juga dalam melaksanakan akad nikah. Demikianlah beberapa pandangan tentang persiapan pernikahan dan berbagai problematikanya, juga beberapa kiat untuk mengantisipasinya. Insyallah, jika ummat Islam mengikuti jalan yang telah digariskan Allah SWT kepadanya, niscaya mereka akan hidup dibawah naungan Islam yang mulia ini dengan penuh ketenangan dan kedamaian .
Wallahuâ’alamu bi showab.

Penyusun: oleh Rini Fura Kirana M.Eng
Dikirim oleh: Fuan, dari sebuah seminar yang diikutinya.

Tuesday, December 05, 2006

Karunia Ilahi Dalam kehidupan Rumah Tangga

Ketika melihat pasangan yang baru menikah, saya suka tersenyum. Bukan apa-apa, saya hanya ikut merasakan kebahagiaan yang berbinar spontan dari wajah-wajah syahdu mereka. Tangan yang saling berkaitan ketika berjalan, tatapan-tatapan penuh makna, bahkan sirat keengganan saat hendak berpisah.

Seorang sahabat yang tadinya mahal tersenyum, setelah menikah senyumnya selalu saja mengembang. Ketika saya tanyakan mengapa, singkat dia berujar "Menikahlah! Nanti juga tahu sendiri". Aih...

Menikah itu sangat indah, kata Almarhum ayah saya dan hanya bisa dirasakan oleh yang sudah menjalaninya. Ketika sudah menikah, semuanya menjadi begitu jelas, alur ibadah suami dan istri. Beliau mengibaratkan ketika seseorang
baru menikah dunia menjadi terang benderang, saat itu kicauan burung terdengar begitu merdu. Sepoi angin dimaknai begitu dalam, makanan yang terhidang selalu saja disantap lezat. Mendung di langit bukan masalah besar. Seolah dunia milik mereka saja, mengapa? karena semuanya dinikmati berdua. Hidup seperti seolah baru dimulai, sejarah keluarga baru saja disusun.

Namun sayang tambahnya, semua itu lambat laun menguap ke angkasa membumbung atau raib ditelan dalamnya bumi. Entahlah saat itu cinta mereka berpendar ke mana. Seiring detik yang berloncatan, seolah cinta mereka juga.
Banyak dari pasangan yang akhirnya tidak sampai ke tujuan, tak terhitung pasangan yang terburai kehilangan pegangan, selanjutnya perahu mereka karam sebelum sempat berlabuh di tepian.

Bercerai, sebuah amalan yang diperbolehkan tapi sangat dibenci Allah. Ketika Allah menjalinkan perasaan cinta diantara suami istri, sungguh itu adalah anugerah bertubi yang harus disyukuri. Karena cinta istri kepada suami berbuah ketaatan untuk selalu menjaga kehormatan diri dan keluarga. Dan cinta suami kepada istri menetaskan keinginan melindungi dan membimbingnya sepenuh hati. Lanjutnya kemudian.

Saya jadi ingat, saat itu seorang istri memarahi suaminya habis-habisan, saya yang berada di sana merasa iba melihat sang suami yang terdiam. Padahal ia baru saja pulang kantor, peluh masih membasah, kesegaran pada saat pergi sama sekali tidak nampak, kelelahan begitu lekat di wajah. Hanya karena masalah kecil, emosi istri meledak begitu hebat. Saya kira akan terjadi "perang" hingga bermaksud mengajak anak-anak main di belakang. Tapi ternyata di luar dugaan, suami malah mendaratkan sun sayang penuh mesra di kening sang istri. Istrinya yang sedang berapi-api pun padam, senyum malu-malunya mengembang kemudian dan merdu suaranya bertutur "Maafkan
Mama ya Pa..". Gegas ia raih tangan suami dan mendekatkannya juga ke kening, rutinitasnya setiap kali suaminya datang.

Jauh setelah kejadian itu, saya bertanya pada sang suami kenapa ia berbuat demikian. "Saya mencintainya, karena ia istri yang dianugerahkan Allah, karena ia ibu dari anak-anak. Yah karena saya mencintainya" demikian jawabannya.

Ibn Qayyim Al-Jauziah seorang ulama besar, menyebutkan bahwa cinta mempunyai tanda-tanda. Pertama, ketika mereka saling mencintai maka
sekali saja mereka tidak akan pernah saling mengkhianati, Mereka akan saling setia senantiasa, memberikan semua komitmen mereka. Kedua, ketika seseorang mencintai, maka dia akan mengutamakan yang dicintainya, seorang istri akan mengutamakan suami dalam keluarga, dan seorang suami tentu saja akan mengutamakan istri dalam hal perlindungan dan nafkahnya. Mereka akan sama-sama saling mengutamakan, tidak ada yang merasa superior. Ketiga, ketika mereka saling mencintai maka sedetikpun mereka tidak akan mau berpisah, lubuk hatinya selalu saling terpaut. Meskipun secara fisik berjauhan, hati mereka seolah selalu tersambung.

Ada do'a istrinya agar suami selamat dalam perjalanan dan memperoleh sukses dalam pekerjaan. Ada tengadah jemari istri kepada Allahi supaya suami selalu dalam perlindunganNya, tidak tergelincir. Juga ada ingatan suami yang sedang membanting tulang meraup nafkah halal kepada istri tercinta, sedang apakah gerangan Istrinya, lebih semangatlah ia.

Saudaraku, ketika segala sesuatunya berjalan begitu rumit dalam sebuah rumah tangga, saat-saat cinta tidak lagi menggunung dan menghilang
seiring persoalan yang datang silih berganti. Perkenankan saya mengingatkan lagi sebuah hadist nabi. Ada baiknya para istri dan suami menyelami bulir-bulir nasehat berharga dari Nabi Muhammad.

Salah satu wasiat Rasulullah yang diucapkannya pada saat-saat terakhir kehidupannya dalam peristiwa haji wada': "Barang siapa - diantara para suami- bersabar atas perilaku buruk dari istrinya, maka Allah akan memberinya pahala seperti yang Allah berikan kepada Ayyub atas kesabarannya menanggung penderitaan. Dan barang siapa -diantara para istri- bersabar atas perilaku buruk suaminya, maka Allah akan memberinya pahala seperti yang Allah berikan kepada Asiah, istri fir'aun" (HR Nasa-iy dan Ibnu Majah).

Kepada saudaraku yang baru saja menggenapkan setengah dien, Tak ada salahnya juga untuk saudaraku yang sudah lama mencicipi asam garamnya pernikahan, Patrikan firman Allah dalam ingatan : "...Mereka (para istri) adalah pakaian bagi kalian (para suami) dan kalian adalah pakaian bagi mereka..." (QS. Al-Baqarah:187)

Torehkan hadist ini dalam enak : "Sesungguhnya ketika seorang suami memperhatikan istrinya dan begitu pula dengan istrinya, maka Allah memperhatikan mereka dengan penuh rahmat, manakala suaminya merengkuh telapak tangan istrinya dengan mesra, berguguranlah dosa-dosa suami istri itu dari sela jemarinya" (Diriwayatkan Maisarah bin Ali dari Ar- Rafi' dari Abu Sa'id Alkhudzri r.a)

Kepada sahabat yang baru saja membingkai sebuah keluarga, Kepada para pasutri yang usia rumah tangganya tidak lagi seumur jagung, Ingatlah ketika suami mengharapkan istri berperilaku seperti Khadijah istri Nabi, maka suami juga harus meniru perlakukan Nabi Muhammad kepada para Istrinya. Begitu juga sebaliknya. Perempuan yang paling mempesona adalah istri yang shalehah, istri yang ketika suami memandangnya pasti menyejukkan mata, ketika suaminya menuntunnya kepada kebaikan maka dengan sepenuh hati dia akan mentaatinya, jua tatkala suami pergi maka dia akan amanah menjaga harta dan kehormatannya. Istri yang tidak silau dengan gemerlap dunia melainkan istri yang selalu bergegas merengkuh setiap kemilau ridha suami.

Lelaki yang berpredikat lelaki terbaik adalah suami yang memuliakan istrinya. Suami yang selalu dan selalu mengukirkan senyuman di wajah istrinya. Suami yang menjadi qawwam istrinya. Suami yang begitu tangguh mencarikan nafkah halal untuk keluarga. Suami yang tak lelah berlemah lembut mengingatkan kesalahan istrinya. Suami yang menjadi seorang nahkoda kapal keluarga, mengarungi samudera agar selamat menuju tepian hakiki "Surga". Dia memegang teguh firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..." (QS. At-Tahrim: 6)

Akhirnya, semuanya mudah-mudah tetap berjalan dengan semestinya. Semua berlaku sama seperti permulaan. Tidak kurang, tidak juga berlebihan.
Meski riak-riak gelombang mengombang-ambing perahu yang sedang dikayuh, atau karang begitu gigih berdiri menghalangi biduk untuk sampai ketepian. Karakter suami istri demikian, Insya Allah dapat melaluinya dengan hasil baik. Sehingga setiap butir hari yang bergulir akan tetap indah, fajar di ufuk selalu saja tampak merekah.

Keduanya menghiasi masa dengan kesyukuran, keduanya berbahtera dengan bekal cinta. Sama seperti syair yang digaungkan Gibran, Bangun di fajar subuh dengan hati seringan awan. Mensyukuri hari baru penuh sinar kecintaan Istirahat di terik siang merenungkan puncak getaran cinta Pulang di kala senja dengan syukur penuh di rongga dada Kemudian terlena dengan doa bagi yang tercinta dalam sanubari Dan sebuah nyanyian kesyukuran tersungging di bibir senyuman. Semoga Allah selalu menghimpunkan kalian (yang saling mencintai karena Allah dalam ikatan halal pernikahan) dalam kebaikan.

Mudah-mudahan Allah yang maha lembut melimpahkan kepada kalian bening saripati cinta, cinta yang menghangati nafas keluarga, cinta yang menyelamatkan. Semoga Allah memampukan kalian membingkai keluarga
sakinah, mawaddah, warrahmah. Semoga Allah mematrikan helai keikhlasan di setiap gerak dalam keluarga. Jua Allah yang maha menetapkan, mengekalkan ikatan pernikahan tidak hanya di dunia yang serba fana tapi sampai ke sana, the real world "Akhirat". Mudah- mudahan kalian selamat mendayung sampai
ketepian. Allahumma Aamiin.

Wednesday, October 04, 2006

Perihal Seperangkat Alat Sholat dan Al-Qur'an sebagai Mas Kawin

Assalammualaikum Wr. Wb.

Saya ingin menanyakan perihal seperangkat alat sholat dan Al-Qur'an yang dijadikan sebagai mas mawin saat pelaksanaan akad nikah. Ada yang mengatakan bahwa jika seperangkat alat sholat dan Al-Qur'an dijadikan mas kawin bisa memberatkan bagi si suami dan si istri jika kedua alat tersebut tidak diamalkan.. bisa dikatakan keduanya akan berdosa. Sehingga jika kedua mempelai merasa berat, jangan menjadikan kedua alat tersebut sebagai Mas kawin. Namun ada juga yang mengatakan bahwa hal tersebut hanya sekedar symbol, dan bisa diamalkan kapan saja. Pertanyaan saya:

Bagaimana jika salah satunya tidak diamalkan, contohnya Al-Qur'an tersebut baru dibaca/diamalkan setelah 5 tahun perkawinan, yang mana sebelumnya Al-Qur'an tersebut hanya sebagai penghias lemari buku. Bagaimana dengan dosa yang ditanggung oleh si suami dan si istri apakah selama Al-Qur'an tersebut tidak diamalkan mereka sudah menanggung dosa?

Kiranya itu saja yang ingin saya tanyakan. Atas perhatian dan jawaban Bapak Ustadz saya ucapkan terima kasih.

Wassalammualaikum wr. wb.

Mery Sukamto

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar ini menjadi hak istri sepenuhnya, sehingga bentuk dan nilai mahar ini pun sangat ditentukan oleh kehendak istri. Bisa saja mahar itu berbentuk uang, benda atau pun jasa, tergantung permintaan pihak istri.

Mahar dan Nilai Nominal
Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar adalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata 'tidak mampu' ini menunjukkan bahwa mahar di masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi. Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang secara nominal tidak ada harganya.

Hal seperti ini yang di masa sekarang kurang dipahami dengan cermat oleh kebanyakan wanita muslimah. Padahal mahar itu adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan suami kepada istri. Jadi sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan, perusahaanatau benda berharga lainnya.

Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat, tentu saja nilai nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suamiyang punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon istrinya.

Akhirnya dengan dalih agar tidak dibilang 'mata duitan', banyak wanita muslimah yang lebih memilih mahar semurah itu. Lalu diembel-embeli dengan permintaan agar suaminya itu mengamalkan Al-Quran. Padahal pengamalan Al-Quran itu justru tidak terukur, bukan sesuatu yang eksak. Sedangkan ayat dan hadits yang bicara tentang mahar justru sangat eksak dan bicara tentang nilai nominal. Bukan sesuatu yang bersifat abstrak dan nilai-nilai moral.

Justru embel-embel inilah yang nantinya akan merepotkan diri sendiri. Sebab bila seorang suami berjanji untuk mengamalkan isi Al-Quran sebagai mahar, maka mahar itu menjadi tidak terbayar manakala dia tidak mengamalkannya. Kalau mahar tidak terbayar, tentu saja akan mengganggu status perkawinannya.

Mahar Dengan Mengajar Al-Quran
Demikian juga bila maharnya adalah mengajarkan Al-Quran kepada istri, tentu harus dibuat batasan bentuk pengajaran yang bagaimana, kurikulumnya apa, berapa kali pertemuan, berapa ayat, pada kitab rujukan apa dan seterusnya. Sebab ketika mahar itu berbentuk emas, selalu disebutkan jumlah nilainya atau beratny, maka ketika mahar itu berbentuk pengajaran Al-Quran, juga harus ditetapkan batasannya.

Kejadian di masa Rasulullah SAW di mana seorang shahabat memberi mahar berupa hafalan Al-Quran, harus dipahami sebagai jasa mengajarkan Al-Quran. Dan mengajarkan Al-Quran itu memang jasa yang lumayan mahal secara nominal. Apalagi kita tahu bahwaistilah 'mengajarkan Al-Quran' di masa lalu bukan sebatas agar istri bisa hafal bacaannya belaka, melainkan juga sekaligus dengan makna, tafsir, pemahaman fiqih dan ilmu-ilmu yang terkait dengan masing-masing ayat tersebut.

Dari Sahal bin Sa'ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,"Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata," Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya." Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, "Tidak kecuali hanya sarungku ini" Nabi menjawab,"bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu." Dia berkata," aku tidak mendapatkan sesuatupun." Rasulullah berkata, " Carilah walau cincin dari besi." Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi," Apakah kamu menghafal qur'an?" Dia menjawab,"Ya surat ini dan itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur'anmu" (HR Bukhori Muslim).

Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda," Ajarilah dia al-qur'an." Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.

Permintaan mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal ini pada gilirannya harus dipandang wajar, sebab kebanyakan wanita sekarang seolah tidak terlalu mempedulikan lagi nilai nominal mahar yang akan diterimanya.

Nominal Mahar Dalam Kajian Para Ulama
Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar.

Bila Laki-laki Tidak Mampu Boleh Mencicil
Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sangat dipahami oleh syariah Islam. Bahwa sebagian dari manusia ada yang kaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya.

Karena itu, syariah Islam memberikan keringanan kepada laki-laki yang tidak mampu memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai permintaan calon istri, untuk mencicilnya atau mengangsurnya. Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi win-win solution antara kemampuan suami dan hak istri. Agar tidak ada yang dirugikan.

Istri tetap mendapatkan haknya berupa mahar yang punya nilai nominal, sedagkan suami tidak diberatkan untuk membayarkannya secara tunai. Inilah yang selama ini sudah berjalan di dalam hukum Islam. Ingatkah anda, setiap kali ada ijab kabul diucapkan, selalu suami mengatakan,"Saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut di atas TUNAI!!." Mengapa ditambahi dengan kata 'TUNAI'?, sebab suami menyatakan sanggup untuk memberikan mahar secara tunai.

Namun bila dia tidak punya kemampuan untuk membayar tunai, dia boleh mengangsurnya dalam jangka waktu tertentu. Jadi bisa saja bunyi ucapan lafadznya begini: "Saya terima nikahnya dengan maskawin uang senilai 100 juta yang dibayarkan secara cicilan selama 10 tahun."

Bila Terlalu Miskin Dan Sangat Tidak Mampu
Namun ada juga kelas masyarakat yang sangat tidak mampu, miskin dan juga fakir. Di mana untuk sekedar makan sehari-hari pun tidak punya kepastian. Namun dia ingin menikah dan punya istri.

Solusinya adalah dia boleh memilih istri yang sekiranya sudah mengerti keadaan ekonominya. Kalau membayar maharnya saja tidak mampu, apalagi bayar nafkah. Logika seperti itu harus sudah dipahami dengan baik oleh siapapun wanita yang akan menjadi istrinya.

Maka Islam membolehkan dia memberi mahar dalam bentuk apapun, dengan nilai serendah mungkin. Misalnya cincin dari besi, sebutir korma, jasa mengajarkanatau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak ridho dan rela atas mahar itu.

a. Sepasang Sendal Di masa Rasulullah SAW, kejadian mengenaskan seperti itu pernah terjadi. Di mana seorang laki-laki yang sangat miskin ingin menikah dan tidak punya harta apapun. Maka dibolehkan mahar itu meski berupa sendal.

Dari Amir bin Rabi'ah bahwa seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mas kawin sepasang sendal. Lalu Rasulullah SAW bertanya, "Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sendal ini?" Dia menjawab," Rela." Maka Rasulullahpun membolehkannya (HR. Ahmad 3/445, Tirmidzi 113, Ibnu madjah 1888).

b. Hafalan Quran:
Ada juga orang yang sangat miskin, tidak punya harta apapun, namun di kepalanya ada ilmu-ilmu keIslaman, dia banyak hafal Al-Quran dan mengerti dengan baik tiap ayat yang pernah dipelajarinya.

Maka atas ilmunya yang sangat berharga itu, dia boleh menjadikannya sebagai sebuah 'harta' yang punya nilai nominal tinggi. Meski tidak berbentuk logam emas. Kejadian itu benar-benar ada di masa Rasulullah SAW.

Dari Sahal bin Sa'ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,"Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata," Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya." Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, "Tidak kecuali hanya sarungku ini" Nabi menjawab,"bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu." Dia berkata," aku tidak mendapatkan sesuatupun." Rasulullah berkata, " Carilah walau cincin dari besi." Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi," Apakah kamu menghafal qur'an?" Dia menjawab,"Ya surat ini dan itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur'anmu" (HR Bukhori Muslim).

Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda," Ajarilah dia al-qur'an." Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.

c. Tidak Dalam Bentuk Apa-apa:
Bahkan bila seorang laki-laki tidak punya harta, juga tidak punya ilmu, tapi tetap ingin menikah agar tidak jatuh ke dalam lembah zina, boleh saja seorang wanita emngikhlaskan semua haknya untuk menerima harta mahar.
Sebab mahar itu memang hak sepenuhnya calon istri, maka bila dia merelakan sama sekali tidak menerima apa pun dari suaminya, tentu tidak mengapa. Dan kejadian itu pun pernah terjadi di masa Rasulullah SAW. Cukup baginya suaminya yang tadinya masih non muslim itu untuk masuk Islam, lalu wanita itu rela dinikahi tanpa pemberian apa-apa. Atau dengan kata lain, keIslamanannya itu menjadi mahar untuknya.

Dari Anas bahwa Aba Tholhah meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim berkata, " Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak lamarannya, sayangnya kamu kafir sedangkan saya muslimah. Tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau kamu masuk Islam, keIslamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut lainnya." Maka jadilah keIslaman Abu Tholhah sebagai mahar dalam pernikahannya itu. (HR Nasa'i 6/ 114).

Semua hadist tadi menunjukkan kasus kasus yang terjadi di masa lalu, di mana seorang laki-laki yang punya kewajiban memberi mahar dengan nilai tertentu, tidak mampu membayarkannya. Hadits-hadits di atas tidak menunjukkan standar nilai nominal mahar di masa itu, melainkan sebuah pengecualian.

Hal itu terbukti ketika Umar Bin Khattab Ra berinisiatif memberikan batas maksimal untuk masalah mahar saat beliau bicara di atas mimbar. Beliau menyebutkan maksimal mahar itu adalah 400 dirham. Namun segera saja dia menerima protes dari para wanita dan memperingatkannya dengan sebuah ayat qur'an. Sehingga Umar pun tersentak kaget dan berkata,"Allahumma afwan, ternyata orang -orang lebih faqih dari Umar." Kemudian Umar kembali naik mimbar,"Sebelumnya aku melarang kalian untuk menerima mahar lebih dari 400 dirham, sekarang silahkan lakukan sekehendak anda."

Dalam konteks kebiasaan mahalnya mahar wanita di zaman itulah kira-kira tepatnya hadits Rasulullah SAW berikut.

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda," Nikah yang paling besar barakahnya itu adalah yang murah maharnya" (HR Ahmad 6/145)

Namun hadits ini perlu dipahami dalam konteks wanita di masa itu yang sama sekali tidak mau bergeming dari tarif mahar yang diajukannya. Sedangkan untuk konteks kita di Indonesia, di mana kebiasaan kita memberi mahar berupa mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat yang sangat murah, tentu perlu dipahami secara lebih luas.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Ahmad Sarwat, Lc.

Friday, August 11, 2006

Pointers on Choosing Marriage Partners

In light of the experience of the past years, it is time to take stock and try to halt the ever-mounting tide of divorces among Muslims. It is not unusual today to find Muslim women (and even an occasional Muslim man) who, by the time they are 30 or 35, have been married three or four times, their children suffering again and again through the trauma of fatherless and broken homes.

Accordingly, we may list a few essential points to be considered by both brothers and sisters in the process of choosing a partner in life (although the masculine pronoun has been used throughout for the sake of simplicity, the following is generally equally applicable to both men and women).

1. Du'a. Unceasingly ask help and guidance from Allah, Most High, in the matter of finding and choosing a mate. As often as you feel it necessary, pray Salaah al-Istikhara, Islam's special prayer for guidance, in order to reach a suitable decision.

2. Consult your heart. Listen to what your inner voice, the 'radar' which Allah has given you to guide you, tells you about the prospective partner. It is likely to be more correct than your mind, which often plays tricks and can rationalise almost any- thing. For many people, first impressions are often the most accurate.

3. Enquire. Find out the reason why this man wants to marry you. Is he interested in you as an individual or will just any person do? Why is he not doing the logical thing, that is, to marry someone from his culture? If there is evidence that the primary reason for this marriage, despite claims to the contrary, is for convenience (greencard, money, property, etc.), forget it. This spells trouble.

4. Get to know your prospective partner, within the limits of what is permissible in Islam, before deciding on marriage. Just ' seeing' someone once or twice in the company of others, who may be anxious for this marriage to take place, is simply not enough under today's conditions, where two per- sons of totally dis-similar backgrounds are meeting each other without the safeguards of families. Without violating Islam's prohibition about being alone, try to understand his nature, what makes him tick, his temperament, what he might be like to live with.

5. Talk to several people who know your prospective partner, not just one, or have someone whom you can trust do this for you. Ask about him from various people, not just from his friends because they may conceal facts to do him a favour. And ask not only about his background, career, Islamicity, etc., but about such crucial matters as whether he gets angry easily; what he does when he is 'mad'; whether he is patient, polite, considerate; how he gets along with people; how he relates to the opposite sex; what sort of relationship he has with his mother and father; whether he is fond of children; what his personal habits are, etc. And find out about his plans for the future from people who know him. Do they coincide with what he has told you? Go into as much detail as possible. Check out his plans for the future - where you will live and what your lifestyle will be, his attitudes toward money and possessions and the like. If you can't get answers to such crucial questions from people who know him, ask him yourself and try to make sure he is not just saying what he knows you want to hear. Too many people will make all kinds of promises before marriages in order to secure the partner they want but afterwards forget that they ever made them, (this naturally applies equally to women as to men).

6. Find out about his family, his relations with his parents, brothers and sisters. What will his obligations be to them in the future? How will this affect where and under what conditions you will live? What are the character and temperament of each of his parents? Will they live with you or you with them? And are they pleased with his prospective marriage to you or not? Although it may not be the case in most Western marriages, among Muslims such issues are often crucial to the success or failure of a marriage, and answers to these questions need to be satisfactory to ensure a peaceful married life.

7. Understand each other's expectations. Try to get a sense of your prospective partner's under- standing of the marriage relationship, how he will behave in various situations, and what he wants of you as his spouse. These are issues which should be discussed clearly and unambiguously as the negotiations progress, not left to become sources of disharmony after the marriage because they were never brought up beforehand. If you are too shy to ask certain questions, have a person you trust do it for you. At an advanced stage of the negotiations, such a discussion should include such matters as birth control, when children are to be expected, how they are to be raised, how he feels about helping with housework and with the children's upbringing, whether or not you may go to school or work, relations with his family and yours, and other vital issues.

8. See him interacting with others in various situations. The more varied conditions under which you are able to observe your prospective partner, the more clues you will have as to his mode of dealing with people and circumstances.

9. Find out what his understanding of Islam is and whether it is compatible with your own. This is a very important matter. Is he expecting you to do many things which you have not done up to this point? If he emphasises " Haraams", especially if you are a new Muslimah, and seems unable to tolerate your viewpoint, chances are your marriage will be in trouble unless you are flexible enough to accommodate yourself to his point of view and possibly a very restrictive lifestyle. Let him spell out to you clearly how he intends to practise Islam and how he wants you to practise it as his wife so there will be no misunderstandings later.

10. Don't be in a hurry. So many marriages have broken because the partners are in such haste that they don't take time to make such vital checks as the ones outlined above and rush into things. Shocking as it may seem, marriages between Muslims which are contracted and then broken within a week or a month or a year have become common place occurrences among us. Don't add yourself to the list of marriage casualties because you couldn't take time or were too desperate for marriage to find out about or get to know the person with whom you plan to spend the rest of your life.

11. Ask yourself, Do I want this man/woman to be the father/mother of my children? If it doesn't feel just right to you, think it over again. Remember, marriage is not just for today or tomorrow but for life, and for the primary purpose of building a family. If the person in question doesn't seem like the sort who would make a good parent, you are likely to find yourself struggling to raise your children without any help from him or her - or even with negative input - in the future.

12. Never allow yourself to be pressured or talked into a marriage. Your heart must feel good about it, not someone else's. Again, allegations of "Islamicity" - he is pious, has a beard, frequents the Masjid, knows about Islam; she wears Hijab, does not talk to men- are not necessarily guarantees of a good partner for you or of a good marriage, but are only a part of a total picture. If an individual practises the Sunnah only in relation to worship or externals, chances are he /she has not really understood and is not really living Islam. Possessing the affection and Rahmah (mercy) which Islam enjoins between marriage partners is vital for a successful relationship, and these are the important traits to be looked for in a prospective partner.

13. Never consent to engaging in a marriage for a fixed period or in exchange for a sum of money. (Mut'a marriage). Such marriages are expressly forbidden in Islam and entering into them is a sinful act, as marriage must be entered into with a clear intention of it being permanent, for life, not for a limited and fixed duration.

If these guidelines are followed, Insha' Allah the chances of making a mistake which may mar the remainder of your life may be minimised.

Choosing a marriage partner is a most serious matter, perhaps the most serious decision you will ever make in your life since your partner can cause you either to be successful or to fail miserably, in the tests of this life and, consequently, in the Here- after. This decision needs to be made with utmost care and caution, repeatedly seeking guidance from your Lord.

If everything checks out favourable, well and good, best wishes for happiness together here and in the Hereafter. If not, better drop the matter and wait. Allah your Lord knows all about you, His servant, and has planned your destiny and your partner for you. Be sure that He will bring you together when the time is right. As the Qur'an enjoins, you must be patient until He opens a way for you, and for your part you should actively explore various marriage leads and possibilities.

Two words addressed to brothers are in order here. If you are marrying or have married a recent convert to Islam, you must be very patient and supportive with her. Remember, Islam is new to her, and chances are that she will not be able to take on the whole of the Shari'ah at once - nor does Islam require this, if you look at the history of early Islam. In your wife 's efforts to conform herself to her new faith and culture, she needs time and a great deal of support, love, help and understanding from you, free of interference from outsiders. It is best to let her make changes at her own speed when her inner being is ready for them rather than demanding that she do this or that, even if it means that some time will elapse before she is ready to follow certain Islamic injunctions. If the changes come from within herself, they are likely to be sincere and permanent; otherwise, if she makes changes because of pressure from you or from others, she may always be unhappy with the situation and may look for ways out of it. You can help her by being consistent in your own behaviour. So many Muslims apply those parts of the Qur'an or Sunnah which suit them and abandon the rest, with resulting confusion in the minds of their wives and children. Thus, while firmly keeping the reins in your hands, you should look at your own faults, not hers, and be proud and happy with the efforts she is making. Make allowances, be considerate, and show your appreciation of the difficult task she is carrying out by every possible means. This will cause her to love and respect you, your culture, and Islam to grow infinitely faster than a harsh, dominating, forceful approach ever could.

Finally, a word of warning. Certain situations have occurred in which women, posing as Muslims (or perhaps actually having made Shahaadah), have deceived and made fools of numbers of Muslim men. Such women may be extremely cunning and devious, operating as poor, lonely individuals in need of help and/or husbands. The brothers who fall into this net may be shown false photos, given false information or promises, cheated in all sorts of ways, and finally robbed of anything the conniving lady can manage to take from them. As was said, it is wise to check out any prospective partner with local Muslims who know her.

Keep your eyes open and take your time. Hurrying into it for any reason whatsoever is the act of a foolish or careless person who has only himself or herself to blame if things go wrong. By Rabi'ah Hakeem


Source: http://sisters.islamway.com/modules.php?name=News&file=article&sid=390

Prohibited Names for Muslim Children

The prohibited names are of two categories: those which are forbidden in the Sharee'ah and those which are either disapproved of due to the Sharee'ah, or due to manners and good taste.


Firstly : Forbidden Names :
(1) Names indicating servitude to other than Allah - the Most High such as: 'Abdun-Nabee (slave of the Prophet), 'Abdur-Rasool (slave of the Messenger) and 'Abdul - Muttalib - and whatever is like these names.

(2) Using these names which are particular names of Allah - the One far removed from all deficiencies - like: al-Ahad.

(3) From the names forbidden for our sons and daughters particular to other religions, i.e.: Jews and the Christians, like: George, David, Michael, Joseph, Diana, Jaclyn etc., since we - the Muslims - have been forbidden to imitate them.

(4) From the names which should also be avoided are the names of tyrants and despots like: Fir'awn (Pharaoh), Qaaroon, Aboo Jahl and their like, also the names of the leaders of Kufr and the heads of atheism such as Marx, Lenin and so on.

Secondly: Names disapproved of in the Sharee'ah or disliked due to bad manners or bad taste :
(1) Giving names which are meant to show servitude to Allah but using names not known to be from Allah's perfect names - like 'Abdul-Mawjood, 'Abdul-Maqsood and 'Abdus-Sattaar. This is because nothing can be affirmed as one of Allah's names without an authentic text.

(2) From these names are those which carry meanings of pessimism, or blameworthy characteristics which will be disliked or cause aversion or cause the possessor of the name to feel degraded, humiliated and such as will kill his personality - like Harb (war), Himaar (donkey), and Kalb (dog).

(3) From good manners is to avoid naming children with names which are suggestive or offend one's meaning of shame - such as: Huyaam (one passionately in love), Nuhaad (A young woman with full and raised breasts), Sahaam (summer heat)!, Wisaal (sexual union), Ghaadah (delicate young woman), Faatin (temptress), Fitnah (temptation), Shaadiyah (female singer) and names with similar meanings.

(4) It is also disliked to give names which amount to a declaration of a person's being pious like: Barrah (pious / piety) and the like - due to this meaning the Messenger of Allah (peace be upon him) changed the name of one of his wives from Barrah to Zaynab, as he used to hate that it be said: "He left/went out from 'Barrah' (piety)."

(5) From these names which it is disliked to use for naming are the names of the Angels- Particularly if they are used for females - such as Malaak since it is to be feared that this involves imitation of the pagans who gave feminine names to the angels.

(6) Just as it is disliked to name with the names of soorahs of the Qur'an such as: TaaHaa, Yaaseen and other names of soorahs. This is the saying of Imaam Maalik- rahimahullaah- Ibnul- Qayyim also said: "The saying of the common people that Yaaseen and TaaHaa are from the names of the Prophet (peace be upon him) is not correct, there is no 'saheeh' hadeeth about it or any 'hasan' hadeeth, nor anything 'mursal', nor any narration from any Companion, but rather they are letters like 'Alif Laam Meem', 'HaaMeem', 'Alif Laam Raa' and the like".


Source: http://sisters.islamway.com/modules.php?name=News&file=article&sid=17


For Muslim girls names & their meanings go to this webpage:
http://www.islamicity.com/Culture/Names/female.htm

and for boys names:
http://www.islamicity.com/Culture/Names/default.htm

Beauty Tips

For attractive lips
Speak words of kindness.

For lovely eyes,
Seek out the good in people.

For a slim figure,
Share your food with the hungry.

For beautiful hair,
Let a child run his or her fingers through it once a day.

For poise,
Walk with the knowledge that you will never walk alone.

People, even more than things, have to be restored, renewed, revived,
reclaimed, and redeemed;
Never throw out anybody.

Remember, If you ever need a helping hand, you'll find one at the end of your arm.

As you grow older, you will discover that you have two hands, one for helping yourself, the other for helping others.

The beauty of a woman is not in the clothes she wears,
The figure that she carries, or the way she combs her hair.

The beauty of a woman must be seen from in her eyes,
Because that is the doorway to her heart, the place where love resides.

The beauty of a woman is not in a facial mole,
But true beauty in a woman is reflected in her soul.

It is the caring that she lovingly gives, the passion that she shows.

And the beauty of a woman, with passing years, only grows!


Source: http://sisters.islamway.com/modules.php?name=News&file=article&sid=175

Friday, July 21, 2006

Cukup tentang Nadine. Baca tentang ini saja.

Tulisan singkat berikut berasal dari Prof Yohanes Surya.

Hasil ini menunjukkan bangsa kita punya potensi besar untuk sukses di dunia,
kita hanya perlu kerja keras untuk mencapai itu.

Beberapa kesan dari Olimpiade Fisika Dunia ke 37 Singapore 2006

1. Waktu upacara pembagian medali, Dutabesar kita duduk disamping para
dutabesar dari berbagai negara seperti filipina, thailand, dsb. Waktu
honorable mention disebutkan, ternyata tidak ada siswa Indonesia.
Dubes-dubes bertanya pada dubes kita (kalau diterjemahkan) "kok nggak ada
siswa Indonesia". Dubes kita tersenyum saja. Kemudian setelah itu dipanggil
satu persatu peraih medali perunggu. Ada yang maju dari filipina,
thailand, kazakhtan dsb. Lagi-lagi dubes negara sahabat bertanya "kok nggak
ada siswa Indonesia?" Kembali dubes kita tersenyum. Dubes kita menyalami
dubes yang siswanya dapat medali perunggu.

Kemudian ketika medali perak disebut, muncul seorang anak kecil (masih SMP)
dengan peci sambil mengibarkan bendera kecil, dan namanya diumumkan
Muhammad Firmansyah Kasim...dari Indonesia... Saat itu dubes negara sahabat
kelihatan bingung, mungkin mereka berpikir "nggak salah nih...". Ketika
mereka sadar, mereka langsung mengucapkan selamat pada dubes kita. Tidak
lama kemudian dipanggil mereka yang dapat medali emas. Saat itu dubes
negara sahabat kaget luar biasa, 4 anak Indonesia maju ke panggung berpeci
hitam dengan jas hitam, gagah sekali. Satu persatu maju sambil
mengibar-ngibarkan bendera merah putih . Mengesankan dan mengharukan. Semua
dubes langsung mengucapkan selamat pada dubes kita sambil berkata bahwa
Indonesia hebat.

Tidak stop sampai disitu. ketika diumumkan "the champion of the
International physics olympiade XXXVII is......."

"Jonathan Pradhana Mailoa". Semua orang Indonesia bersorak. Bulu kuduk
berdiri, merinding.... Semua orang mulai berdiri, tepuk tangan menggema
cukup lama... Standing Ovation....Hampir semua orang Indonesia yang hadir
dalam upacara itu tidak kuasa menahan air mata turun. Air mata kebahagiaan,
air mata keharuan.... Air mata kebanggaan sebagai bagian dari bangsa
Indonesia yang besar.....Segala rasa capai dan lelah langsung hilang
seketika... sangat mengharukan....

2. Selesai upacara, semua orang menyalami. Orang Kazakhtan memeluk erat-erat
sambil berkata "wonderful job..." Orang Malaysia menyalami berkata "You did
a great job..." Orang Taiwan bilang :"Now is your turn..." Orang
filipina:"amazing..." Orang Israel "excellent work..." Orang Portugal:"
portugal is great in soccer but has to learn physics from Indonesia", Orang
Nigeria :"could you come to Nigeria to train our students too?" Orang
Australia :"great...." Orang belanda: "you did it!!!" Orang Rusia
mengacungkan kedua jempolnya.. Orang Iran memeluk sambil berkata "great
wonderful..." 86 negara mengucapkan selamat... Suasananya sangat
mengharukan... saya tidak bisa menceritakan dengan kata-kata...

3. Gaung kemenangan Indonesia menggema cukup keras. Seorang prof dari Belgia
mengirim sms seperti berikut: Echo of Indonesian Victory has reached Europe!
Congratulations to the champions and their coach for these amazing
successes! The future looks bright....

Marc Deschamps.

Ya benar kata Prof. Deschamps, kita punya harapan....

Salam
Yohanes

Wednesday, July 19, 2006

Episode Memperbaharui Cinta

Sudah pukul 19.00 malam. Saatnya aku berangkat untuk mengejar pesawat ke Jakarta pukul 20.30. Traveling-bag sudah disiapkannya sejak pagi.

“Pergilah,” katanya memandang mataku. “Ini belum waktunya. Kontraksinya bukan di fundus, tetapi di bagian bawah. Mungkin … sakit biasa.”

Aku pun mengangguk berusaha yakin. Bagaimanapun ia seorang dokter. Dan, ia pun sudah aku bekali dengan alamat, no telp, dan ancar-ancar ke rumah bidan itu. Aku bahkan sudah meninggalkan pesan ke teman sekantor, jika sewaktu-waktu saat itu tiba, ia siap membantu.

Keningnya segera kucium setelah tanganku diciumnya mesra. Dan tas itu sudah kuangkat untuk kugelandang ke pintu depan. Tangannya menyuruhku pergi, tetapi kutahu matanya tidak. Ia bahkan tidak beranjak dari tempatnya karena sakit yang tak terperikan itu. Apakah ini sudah waktunya? Tanya batinku mencari kepastian. Bukankah perkiraannya masih 9-10 hari lagi?

Kulihat kini mata itu basah.

Sedetik kemudian aku putuskan, “Kayaknya lebih baik aku tak jadi pergi.” Begitulah kata-kataku meluncur dan tas kuletakkan kembali.

Ia terkesima. “Nggak papa, ta, Mas?” tanyanya, sembari mengusap sembab matanya. “Aku nggak papa, kok. Kalaupun nanti ke bidan sendiri, aku bisa.”

“Nggak. Aku bisa tunda acara di Jakarta besok.”

Ia memelukku dalam isak.

“Coba kita lihat sampai besok, “ bisikku. “Jika sakit itu mereda, aku bisa ke Jakarta petangnya.”

Ia mengangguk. Aku segera memapahnya berbaring.

Kukontak teman seperjalanan. Dan kukatakan padanya keadaanku. Ia bisa mengerti. Segera aku ke kantor yang hanya 5 menit dari rumah untuk menitipkan data agar diserahkan ke anggota timku di Jakarta.

Belum selesai mengcopy ini-itu, sebuah SMS masuk ke mailbox HP-ku. “Mas, jangan lama-lama, ya?” begitu isinya. Dari isteriku. Secepat kilat kuserahkan data yang belum lengkap itu ke teman seperjalananku. Aku segera balik ke rumah.

Ternyata benar. Tak menunggu menit berlalu, ia sudah mengeluarkan tanda-tanda itu. Kontraksi di bawah perut yang semakin menguat membuatnya nyaris tak kuat berdiri, bahkan beringsut. Sepercik cairan merah atau coklat, aku tak tahu pasti, semakin menambah keyakinan bahwa saatnya telah tiba. Maju dari perkiraan.

Kutelpon temanku yang mau meminjami mobil. Segera aku berbenah. Cepat. Tak ada waktu menunggu. Dua potong jarit, setumpuk popok, stagen, pakaian ganti luar dalam, softtex, minyak but-but, spirulina. Semua kumasukkan asal-asalan dalam tas kuning yang sudah disiapkannya jauh hari.

Mobil pinjaman teman segera datang. Dan ia pun kubawa pergi. Sementara aku mengatakan padanya untuk tenang dan terus bertahan, aku sendiri menyumpah-serapahi mobil-motor di depanku yang tak segera beranjak ketika lampu lalu-lintas sudah kuning berkelip-kelip menuju hijau. Sementara aku katakan padanya sebentar lagi sampai di tempat tujuan, aku sendiri tegang: penginnya ngebut karena tujuan masih jauh, tapi tak mungkin.

Ketika akhirnya sampai di tujuan, hujan turun gerimis dan dia sudah buka 10! Bu Is, bidan kami, segera beraksi. Suntikan, tabung oksigen, selimut, sarung tangan, botol-botol cairan. Lampu-lampu dinyalakan. Celemek dipakaikan. Sementara ia, yang telah menyiapkan tasku sejak pagi, meringis menahan sakit di atas pembaringan. Bu Is menyuntik seraya memegang-megang perut buncitnya. Asistennya menyiapkan ember.

Aku menggenggam tangannya. Aku memegang keningnya. Peluh bercucuran.

Dan kami semua menunggu detik-detik itu.

Tak berapa lama, ia mengejan. Bu Is memberi aba-aba. Aku menggenggam lebih erat tangannya. Ia mengambil napas panjang. Ia mengejan lagi. Suaranya seperti ingin menghentakkan sesuatu yang sangat berat. Wajahnya pias bertaburan keringat. Aku komat-kamit berdoa sambil mengusap titik-titik air yang terus mengalir di seluruh wajahnya.

Ia berhenti sejenak lagi, mengambil napas panjang lagi, dan mengejan lagi! Bu Is memberi aba-aba. Aku pucat. Kudengar kemudian suara seperti karet yang teregang begitu kuat, melewati batas maksimal regangannya. Seperti mau putus. Dan kulihat kepala itu. Perlahan, di sela riuh aba-aba Bu Is, ejanan dan erangan dirinya, dan suaraku sendiri yang menguatkannya untuk terus mendorong. Terus! Dorong! Kini kulihat perlahan leher, lalu punggung, tangan, dan akhirnya kaki keluar cepat diikuti … byoorrr! Ketuban mengalir laksana air bah. Putih. Bening seperti air beras.

Ia terengah serupa habis mengangkat beban ribuan karung. Terkulai pucat-pasi. Lelah tiada tara. Kemudian terdengar oek-oek memecah malam. Hujan gerimis di luar terdengar jelas menusuki atap genting.

“Laki-laki, Mas,” Bu Is memberi kabar seperti angin sejuk mengaliri padang gersang. Isteriku tersenyum, dan sepertinya semua yang dialaminya seketika hilang, tergantikan dengan kegembiraan yang tak tergambarkan. Aku tersenyum padanya. Laki-laki, bisikku padanya mengulang. Ia menggenggam erat tanganku.

“Aku capek sekali, “ katanya.

Tapi kutahu, sinar matanya menyiratkan suka-cita.

Alhamdulillah! Allahu Akbar! Laki-laki, sama denganku. 3,8 kg. Lahir per vaginam. 12 Pebruari 2006 jam 21.00 WIB.

Seketika nyawaku saat itu serasa menjadi rangkap!

***

Persalinan merupakan peristiwa besar penuh misteri. Peristiwa berdarah-darah.

Ia seperti sebuah garis batas yang mengkhawatirkan. Tak jarang mengerikan. Barang siapa melaluinya seperti halnya melewati batas antara hidup dan mati. Ia harus dilakoni bukan oleh seorang pria gagah-perkasa, melainkan seorang wanita dengan segala kelemahannya. Saking beratnya episode ini, Rasul menimbangnya sebagai sama dengan jihad di medan peperangan.

Pernahkah Anda mengalami keadaan ini. Isteri sudah berkontraksi penuh. Bidan lalu memecah ketuban untuk memperlancar persalinan. Tetapi ketika memeriksa, ia seperti berteriak histeris, “Bu, ini bukan kepala! Bayinya sungsang! Saya tidak berani. Tunggu, tahan dulu! Saya akan panggilkan dokter!”

Ia lalu menelepon dokternya setengah berteriak-teriak seakan-akan seekor anjing galak sudah bersiap menggigit kakinya. Sementara Anda, seorang laki-laki perkasa yang hanya bisa bengong dan tak tahu harus berbuat apa melihat isteri Anda tersiksa begitu rupa. Di saat itulah Anda akan merasakan betapa bayang kematian terasa di depan mata dan Anda betapapun perkasanya seperti tiada berguna. Betapa kekhawatiran akan kehilangan seseorang, detik itu, menghantui diri Anda.

Saya pernah mengalaminya saat kelahiran anak saya kedua.

Ini kali keempat saya mendampingi isteri melewati garis batas itu. Tetapi, rasanya seperti mendampingi proses kelahiran anak yang pertama, kedua, dan ketiga. Selalu saja timbul pertanyaan itu: akankah masih bisa menjumpai senyumnya setelah episode ini?

Melihatnya meringis menahan sakit, menggenggam tangannya ketika mengejan, melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ia mengeluarkan buah hati kami, sungguh merupakan episode yang menggetarkan. Dan, sehabis itu, cinta ini seperti semakin tumbuh. Menjulang. Apakah memang cinta justru akan menemukan titik puncaknya ketika dihadapkan pada situasi antara hidup dan mati? Di saat kemungkinan hidup sama tipisnya dengan kemungkinan tidak menjumpainya lagi?

Karena sebab ini pulalah, saya berupaya untuk selalu mendampinginya pada peristiwa berdarah-darah itu. Melihatnya bergulat maut, membuat saya tidak akan pernah tega melukai hatinya. Apalagi memukulnya. Sungguh, apa yang saya sandang, apa yang saya kerjakan sejak keluar pagi dan pulang petang untuk mereka yang di rumah, tidaklah sepadan dengan apa yang harus dialami wanita perkasa itu.

Wahai! Betapa benar sabda Rasul SAW bahwa sebaik-baik suami adalah yang terbaik akhlaknya kepada isterinya. Dengan membandingkan pengorbanan pada peristiwa persalinan ini saja, rasanya, Anda, para suami tidak ada apa-apanya jika dibandingkan wanita yang anak-anak Anda memanggil padanya ibu.

Karenanya, mendampinginya bersalin adalah sebuah terapi jiwa, sekaligus episode pembaharuan cinta padanya. Jadi, jika rasanya cinta saya padanya sedikit terdegradasi, barangkali sudah waktunya bagi saya mendampinginya lagi untuk bersalin.

Ha ha ha. Sepertinya senda-gurau. Tetapi percayalah, ini serius. Dan satu hal yang selayaknya diingat adalah bahwa yang dibutuhkannya pada saat genting itu bukanlah ibu ataupun mertua Anda. Ia hanya membutuhkan genggaman tangan Anda. Jadi, sudahkah Anda melakukannya?

Wa Allahu a’lam.

***

Bahtiar HS
http://bahtiarhs.multiply.com
source: eramuslim.com

Akhir yang Berbeda

Tatkala masih dibangku sekolah, aku hidup bersama kedua orangtuaku dalam lingkungan yang baik. Aku selalu mendengar doa ibuku saat pulang dari keluyuran dan begadang malam. Demikian pula ayahku, ia selalu dalam shalatnya yang panjang.

Aku heran, mengapa ayah shalat begitu lama, apalagi jika saat musim dingin yang menyengat tulang.Aku sungguh heran, bahkan hingga aku berkata kepada dirisendiri :

"Alangkah sabarnya mereka ... setiap hari begitu ... benar-benar mengherankan!"
Aku belum tahu bahwa di situlah kebahagiaan orang mukmin dan itulah shalat orang-orang pilihan. Mereka bangkit dari tempat tidurnya untuk bermunajat kepada Allah.
Setelah menjalani pendidikan militer, aku tumbuh sebagai pemuda yang matang. Tetapi diriku semakin jauh dari Allah padahal berbagai nasehat selalu kuterima dan kudengar dari waktu ke waktu. Setelah tamat dari pendidikan, aku ditugaskan di kota yang jauh dari kotaku. Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku agak ringan menanggung beban sebagai orang terasing.

Disana, aku tak mendengar lagi suara bacaan Al-Qur'an. Tak ada lagi
suara ibu yang membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup sendirian, jauh dari lingkungan keluarga yang dulu kami nikmati. Aku ditugaskan mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol. Di samping menjaga keamanan jalan, tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Pekerjaan baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi. Tetapi, hidupku bagai selalu diombang-ambingkan ombak.

Aku bingung dan sering melamun sendirian ... banyak waktu luang ...
pengetahuanku terbatas. Aku mulai jenuh ... tak ada yang menuntunku di bidang agama. Aku sebatang kara. Hampir tiap hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan orang-orang yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentuk penganiayaan lain. Aku bosan dengan rutinitas.

Sampai suatu hari terjadilah sebuah peristiwa yang hingga kini tak
pernah kulupakan. Ketika itu, kami dengan seorang kawan sedang bertugas disebuah pos jalan. Kami asyik ngobrol ... tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara benturan yang amat keras. Kami mengedarkan pandangan. Ternyata, sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain yang meluncur dari arah yang berlawanan.
Kami segera berlari menuju tempat kejadian untuk menolong korban.
Kejadian yang sungguh tragis. Kami lihat dua awak salah satu mobil dalam kondisi kritis. Keduanya segera kami keluarkan dari mobil lalu kami bujurkan di tanah. Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata pengemudinya telah tewas dengan amat mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua orang yang berada dalam kondisi koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan kalimat syahadat.

Ucapkanlah "Laailaaha Illallaah ... Laailaaha Illallaah .." perintah temanku.
Tetapi sungguh mengerikan, dari mulutnya malah meluncur lagu-lagu.
Keadaan itu membuatku merinding. Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi orang-orang yang sekarat ... Kembali ia menuntun korban itu membaca syahadat. Aku diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar.

Seumur hidupku, aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi dengan kondisi seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang bacaan syahadat. Tetapi ... keduanya tetap terus saja melantunkan lagu.
Tak ada gunanya ... Suara lagunya terdengar semakin melemah ... lemah dan lemah sekali. Orang pertama diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua.
Tak ada gerak ... keduanya telah meninggal dunia. Kami segera membawa mereka ke dalam mobil. Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatahpun. Selama perjalanan hanya ada kebisuan. Hening...

Kesunyian pecah ketika temanku mulai bicara. Ia berbicara tentang hakikat kematian dan su'ul khatimah (kesudahan yang buruk). Ia berkata "Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk..

Kesudahan hidup itu biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di dunia." Ia bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yang diriwayatkan dalam buku-buku islam. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri hidupnya sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin.
Perjalanan kerumah sakit terasa singkat oleh pembicaraan kami tentang kematian. Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya tatkala ingat bahwa kami sedang membawa mayat.

Tiba-tiba aku menjadi takut mati. Peristiwa ini benar-benar memberi
pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku shalat khusyu' sekali. Tetapi
perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu. Aku kembali pada
kebiasaanku semula ... Aku seperti tak pernah menyaksikan apa yang menimpa dua orang yang tak kukenal beberapa waktu yang lalu.

Tetapi sejak saat itu, aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang namanya lagu-lagu. Aku tak mau tenggelam menikmatinya seperti sedia kala. Mungkin itu ada kaitannya dengan lagu yang pernah kudengar dari dua orang yang sedang sekarat dahulu.

Kejadian yang menakjubkan ... Selang enam bulan dari peristiwa
mengerikan itu .... sebuah kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mataku.

Seseorang mengendarai mobilnya dengan pelan, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok di sebuah terowongan menuju kota. Ia turun dari mobilnya untuk mengganti ban yang kempes. Ketika ia berdiri dibelakang mobil untuk menurunkan ban serep, tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang. Lelaki itupun langsung tersungkur seketika.
Aku dengan seorang kawan, bukan yang menemaniku pada peristiwa pertama cepat-cepat menuju tempat kejadian. Dia kami bawa dengan mobil dan segera pula kami menghubungi rumah sakit agar langsung mendapat penanganan.

Dia masih sangat muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang yang taat menjalankan perintah agama. Wajahnya begitu bersih - mungkin karena sering tersiram air wudhlu. Ketika mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup panik, sehingga tak sempat memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu. Ketika kami membujurkannya di dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang keluar dari mulutnya.
Ia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an ... dengan suara amat lemah.

"Subhanallah ! dalam kondisi kritis seperti itu ia masih sempat melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an ? Darah mengguyur seluruh pakaiannya, tulang-tulangnya patah, bahkan ia hampir mati. Dalam kondisi seperti itu, ia terus melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan suaranya yang merdu.
Selama hidup, aku tak pernah mendengar bacaan Al-Qur'an seindah itu.
Dalam batin aku bergumam sendirian "Aku akan menuntunya membaca syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh temanku terdahulu ... apalagi aku sudah punya pengalaman." aku meyakinkan diriku sendiri.

Aku dan kawanku seperti terhipnotis mendengarkan suara bacaan Al-Qur'an yang merdu itu. Sekonyong-konyong sekujur tubuhku merinding, menjalar dan menyelusup ke setiap rongga. Tiba-tiba, suara itu terhenti. Aku menoleh kebelakang. Kusaksikan dia mengacungkan jari telunjuknya lalu bersyahadat.

Kepalanya terkulai, aku melompat ke belakang. Kupegang tangannya, degup jantungnya, nafasnya, tidak ada yang terasa. Dia telah meningal. Aku lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku menetes, kusembunyikan tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada kawanku kalau pemuda itu telah meninggal. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya. Demikian pula halnya dengan diriku. Aku terus menangis air mataku deras mengalir. Suasana dalam mobil betul-betul sangat mengharukan.

Sampai di rumah sakit .....Kepada orang-orang di sana, kami mengabarkan perihal kematian pemuda itu dan peristiwa menjelang kematiannya yang menakjubkan. Banyak orang yang terpengaruh dengan kisah kami, sehingga tak sedikit yang meneteskan air mata. Salah seorang dari mereka, demi mendengar kisahnya, segera menghampiri jenazah dan mencium keningnya.Semua orang yang hadir memutuskan untuk tidak beranjak sebelum mengetahui secara pasti kapan jenazah akan dishalatkan. Mereka ingin memberi penghormatan terakhir kepada jenazah. Semua ingin ikut menyolatinya.

Salah seorang petugas rumah sakit menghubungi rumah almarhum. Kami ikut mengantar jenazah hingga ke rumah keluarganya. Salah seorang saudaranya mengisahkan, ketika kecelakaan, sebetulnya almarhum hendak menjenguk neneknya di desa. Pekerjaan itu rutin ia lakukan setiap hari senin.
Disana almarhum juga menyantuni para janda, anak yatim dan orang-orang miskin.Ketika terjadi kecelakaan, mobilnya penuh dengan beras, gula, buah-buahan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Ia juga tak lupa membawa buku-buku agama dan kaset-kaset pengajian. Semua itu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang ia santuni. Bahkan ia juga membawa
permen untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil.

Wassalamu'alaikum.

Bila tiba saatnya kelak, kita menghadap Allah Yang Perkasa. hanya ada satu harap, semoga kita menjadi penghuni surga. Biarlah dunia jadi kenangan, juga langkah-langkah kaki yang terseok, di sela dosa dan pertaubatan. Hari ini, semoga masih ada usia, untuk mengejar surga itu, dengan amal-amal yang nyata : "memperbaiki diri dan mengajak orang lain "Rasulullah telah mengingatkan,"

Barangsiapa yang lambat amalnya, tidak akan dipercepat oleh nasabnya." Amin ya Rabbul alamin.......

-unknown source

Thursday, April 13, 2006

Salutation

Another blog of mine that has been abandon for sometimes. I made this blog apparently 2 years ago on Wednesday, 30 September 2004 (well, at least that was my first post). Today, I am coming back to reborn this blog with a new character that suit me best. This blog will contain everything that I like the most (of course other than poems! :) ), everything new to me, everything that attract me and everything that complete me.

As I am an auditor, you will find lots and lots of posts about my 'interesting' work at PricewaterhouseCoopers (PwC), accounting, audit, economics, finance, general analysis as well as religic stuff i.e. Islam.

Now about the language! It will be bilingual in Indonesia and English.

Why "Drizzle - The Scotch Mist"?
Because I love the smell of drizzle and rain. Somehow, it calm me down!!! And somehow, one miserable day in London attract me most. Wait for me, London!!! :)

Last but not least, as merely human being, I make some mistakes thus I welcome every comments and critiques. Please don't hesitate to email me (or just jot down in the comment's box) for your input to me and my blog...

Welcome!