Friday, July 21, 2006

Cukup tentang Nadine. Baca tentang ini saja.

Tulisan singkat berikut berasal dari Prof Yohanes Surya.

Hasil ini menunjukkan bangsa kita punya potensi besar untuk sukses di dunia,
kita hanya perlu kerja keras untuk mencapai itu.

Beberapa kesan dari Olimpiade Fisika Dunia ke 37 Singapore 2006

1. Waktu upacara pembagian medali, Dutabesar kita duduk disamping para
dutabesar dari berbagai negara seperti filipina, thailand, dsb. Waktu
honorable mention disebutkan, ternyata tidak ada siswa Indonesia.
Dubes-dubes bertanya pada dubes kita (kalau diterjemahkan) "kok nggak ada
siswa Indonesia". Dubes kita tersenyum saja. Kemudian setelah itu dipanggil
satu persatu peraih medali perunggu. Ada yang maju dari filipina,
thailand, kazakhtan dsb. Lagi-lagi dubes negara sahabat bertanya "kok nggak
ada siswa Indonesia?" Kembali dubes kita tersenyum. Dubes kita menyalami
dubes yang siswanya dapat medali perunggu.

Kemudian ketika medali perak disebut, muncul seorang anak kecil (masih SMP)
dengan peci sambil mengibarkan bendera kecil, dan namanya diumumkan
Muhammad Firmansyah Kasim...dari Indonesia... Saat itu dubes negara sahabat
kelihatan bingung, mungkin mereka berpikir "nggak salah nih...". Ketika
mereka sadar, mereka langsung mengucapkan selamat pada dubes kita. Tidak
lama kemudian dipanggil mereka yang dapat medali emas. Saat itu dubes
negara sahabat kaget luar biasa, 4 anak Indonesia maju ke panggung berpeci
hitam dengan jas hitam, gagah sekali. Satu persatu maju sambil
mengibar-ngibarkan bendera merah putih . Mengesankan dan mengharukan. Semua
dubes langsung mengucapkan selamat pada dubes kita sambil berkata bahwa
Indonesia hebat.

Tidak stop sampai disitu. ketika diumumkan "the champion of the
International physics olympiade XXXVII is......."

"Jonathan Pradhana Mailoa". Semua orang Indonesia bersorak. Bulu kuduk
berdiri, merinding.... Semua orang mulai berdiri, tepuk tangan menggema
cukup lama... Standing Ovation....Hampir semua orang Indonesia yang hadir
dalam upacara itu tidak kuasa menahan air mata turun. Air mata kebahagiaan,
air mata keharuan.... Air mata kebanggaan sebagai bagian dari bangsa
Indonesia yang besar.....Segala rasa capai dan lelah langsung hilang
seketika... sangat mengharukan....

2. Selesai upacara, semua orang menyalami. Orang Kazakhtan memeluk erat-erat
sambil berkata "wonderful job..." Orang Malaysia menyalami berkata "You did
a great job..." Orang Taiwan bilang :"Now is your turn..." Orang
filipina:"amazing..." Orang Israel "excellent work..." Orang Portugal:"
portugal is great in soccer but has to learn physics from Indonesia", Orang
Nigeria :"could you come to Nigeria to train our students too?" Orang
Australia :"great...." Orang belanda: "you did it!!!" Orang Rusia
mengacungkan kedua jempolnya.. Orang Iran memeluk sambil berkata "great
wonderful..." 86 negara mengucapkan selamat... Suasananya sangat
mengharukan... saya tidak bisa menceritakan dengan kata-kata...

3. Gaung kemenangan Indonesia menggema cukup keras. Seorang prof dari Belgia
mengirim sms seperti berikut: Echo of Indonesian Victory has reached Europe!
Congratulations to the champions and their coach for these amazing
successes! The future looks bright....

Marc Deschamps.

Ya benar kata Prof. Deschamps, kita punya harapan....

Salam
Yohanes

Wednesday, July 19, 2006

Episode Memperbaharui Cinta

Sudah pukul 19.00 malam. Saatnya aku berangkat untuk mengejar pesawat ke Jakarta pukul 20.30. Traveling-bag sudah disiapkannya sejak pagi.

“Pergilah,” katanya memandang mataku. “Ini belum waktunya. Kontraksinya bukan di fundus, tetapi di bagian bawah. Mungkin … sakit biasa.”

Aku pun mengangguk berusaha yakin. Bagaimanapun ia seorang dokter. Dan, ia pun sudah aku bekali dengan alamat, no telp, dan ancar-ancar ke rumah bidan itu. Aku bahkan sudah meninggalkan pesan ke teman sekantor, jika sewaktu-waktu saat itu tiba, ia siap membantu.

Keningnya segera kucium setelah tanganku diciumnya mesra. Dan tas itu sudah kuangkat untuk kugelandang ke pintu depan. Tangannya menyuruhku pergi, tetapi kutahu matanya tidak. Ia bahkan tidak beranjak dari tempatnya karena sakit yang tak terperikan itu. Apakah ini sudah waktunya? Tanya batinku mencari kepastian. Bukankah perkiraannya masih 9-10 hari lagi?

Kulihat kini mata itu basah.

Sedetik kemudian aku putuskan, “Kayaknya lebih baik aku tak jadi pergi.” Begitulah kata-kataku meluncur dan tas kuletakkan kembali.

Ia terkesima. “Nggak papa, ta, Mas?” tanyanya, sembari mengusap sembab matanya. “Aku nggak papa, kok. Kalaupun nanti ke bidan sendiri, aku bisa.”

“Nggak. Aku bisa tunda acara di Jakarta besok.”

Ia memelukku dalam isak.

“Coba kita lihat sampai besok, “ bisikku. “Jika sakit itu mereda, aku bisa ke Jakarta petangnya.”

Ia mengangguk. Aku segera memapahnya berbaring.

Kukontak teman seperjalanan. Dan kukatakan padanya keadaanku. Ia bisa mengerti. Segera aku ke kantor yang hanya 5 menit dari rumah untuk menitipkan data agar diserahkan ke anggota timku di Jakarta.

Belum selesai mengcopy ini-itu, sebuah SMS masuk ke mailbox HP-ku. “Mas, jangan lama-lama, ya?” begitu isinya. Dari isteriku. Secepat kilat kuserahkan data yang belum lengkap itu ke teman seperjalananku. Aku segera balik ke rumah.

Ternyata benar. Tak menunggu menit berlalu, ia sudah mengeluarkan tanda-tanda itu. Kontraksi di bawah perut yang semakin menguat membuatnya nyaris tak kuat berdiri, bahkan beringsut. Sepercik cairan merah atau coklat, aku tak tahu pasti, semakin menambah keyakinan bahwa saatnya telah tiba. Maju dari perkiraan.

Kutelpon temanku yang mau meminjami mobil. Segera aku berbenah. Cepat. Tak ada waktu menunggu. Dua potong jarit, setumpuk popok, stagen, pakaian ganti luar dalam, softtex, minyak but-but, spirulina. Semua kumasukkan asal-asalan dalam tas kuning yang sudah disiapkannya jauh hari.

Mobil pinjaman teman segera datang. Dan ia pun kubawa pergi. Sementara aku mengatakan padanya untuk tenang dan terus bertahan, aku sendiri menyumpah-serapahi mobil-motor di depanku yang tak segera beranjak ketika lampu lalu-lintas sudah kuning berkelip-kelip menuju hijau. Sementara aku katakan padanya sebentar lagi sampai di tempat tujuan, aku sendiri tegang: penginnya ngebut karena tujuan masih jauh, tapi tak mungkin.

Ketika akhirnya sampai di tujuan, hujan turun gerimis dan dia sudah buka 10! Bu Is, bidan kami, segera beraksi. Suntikan, tabung oksigen, selimut, sarung tangan, botol-botol cairan. Lampu-lampu dinyalakan. Celemek dipakaikan. Sementara ia, yang telah menyiapkan tasku sejak pagi, meringis menahan sakit di atas pembaringan. Bu Is menyuntik seraya memegang-megang perut buncitnya. Asistennya menyiapkan ember.

Aku menggenggam tangannya. Aku memegang keningnya. Peluh bercucuran.

Dan kami semua menunggu detik-detik itu.

Tak berapa lama, ia mengejan. Bu Is memberi aba-aba. Aku menggenggam lebih erat tangannya. Ia mengambil napas panjang. Ia mengejan lagi. Suaranya seperti ingin menghentakkan sesuatu yang sangat berat. Wajahnya pias bertaburan keringat. Aku komat-kamit berdoa sambil mengusap titik-titik air yang terus mengalir di seluruh wajahnya.

Ia berhenti sejenak lagi, mengambil napas panjang lagi, dan mengejan lagi! Bu Is memberi aba-aba. Aku pucat. Kudengar kemudian suara seperti karet yang teregang begitu kuat, melewati batas maksimal regangannya. Seperti mau putus. Dan kulihat kepala itu. Perlahan, di sela riuh aba-aba Bu Is, ejanan dan erangan dirinya, dan suaraku sendiri yang menguatkannya untuk terus mendorong. Terus! Dorong! Kini kulihat perlahan leher, lalu punggung, tangan, dan akhirnya kaki keluar cepat diikuti … byoorrr! Ketuban mengalir laksana air bah. Putih. Bening seperti air beras.

Ia terengah serupa habis mengangkat beban ribuan karung. Terkulai pucat-pasi. Lelah tiada tara. Kemudian terdengar oek-oek memecah malam. Hujan gerimis di luar terdengar jelas menusuki atap genting.

“Laki-laki, Mas,” Bu Is memberi kabar seperti angin sejuk mengaliri padang gersang. Isteriku tersenyum, dan sepertinya semua yang dialaminya seketika hilang, tergantikan dengan kegembiraan yang tak tergambarkan. Aku tersenyum padanya. Laki-laki, bisikku padanya mengulang. Ia menggenggam erat tanganku.

“Aku capek sekali, “ katanya.

Tapi kutahu, sinar matanya menyiratkan suka-cita.

Alhamdulillah! Allahu Akbar! Laki-laki, sama denganku. 3,8 kg. Lahir per vaginam. 12 Pebruari 2006 jam 21.00 WIB.

Seketika nyawaku saat itu serasa menjadi rangkap!

***

Persalinan merupakan peristiwa besar penuh misteri. Peristiwa berdarah-darah.

Ia seperti sebuah garis batas yang mengkhawatirkan. Tak jarang mengerikan. Barang siapa melaluinya seperti halnya melewati batas antara hidup dan mati. Ia harus dilakoni bukan oleh seorang pria gagah-perkasa, melainkan seorang wanita dengan segala kelemahannya. Saking beratnya episode ini, Rasul menimbangnya sebagai sama dengan jihad di medan peperangan.

Pernahkah Anda mengalami keadaan ini. Isteri sudah berkontraksi penuh. Bidan lalu memecah ketuban untuk memperlancar persalinan. Tetapi ketika memeriksa, ia seperti berteriak histeris, “Bu, ini bukan kepala! Bayinya sungsang! Saya tidak berani. Tunggu, tahan dulu! Saya akan panggilkan dokter!”

Ia lalu menelepon dokternya setengah berteriak-teriak seakan-akan seekor anjing galak sudah bersiap menggigit kakinya. Sementara Anda, seorang laki-laki perkasa yang hanya bisa bengong dan tak tahu harus berbuat apa melihat isteri Anda tersiksa begitu rupa. Di saat itulah Anda akan merasakan betapa bayang kematian terasa di depan mata dan Anda betapapun perkasanya seperti tiada berguna. Betapa kekhawatiran akan kehilangan seseorang, detik itu, menghantui diri Anda.

Saya pernah mengalaminya saat kelahiran anak saya kedua.

Ini kali keempat saya mendampingi isteri melewati garis batas itu. Tetapi, rasanya seperti mendampingi proses kelahiran anak yang pertama, kedua, dan ketiga. Selalu saja timbul pertanyaan itu: akankah masih bisa menjumpai senyumnya setelah episode ini?

Melihatnya meringis menahan sakit, menggenggam tangannya ketika mengejan, melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ia mengeluarkan buah hati kami, sungguh merupakan episode yang menggetarkan. Dan, sehabis itu, cinta ini seperti semakin tumbuh. Menjulang. Apakah memang cinta justru akan menemukan titik puncaknya ketika dihadapkan pada situasi antara hidup dan mati? Di saat kemungkinan hidup sama tipisnya dengan kemungkinan tidak menjumpainya lagi?

Karena sebab ini pulalah, saya berupaya untuk selalu mendampinginya pada peristiwa berdarah-darah itu. Melihatnya bergulat maut, membuat saya tidak akan pernah tega melukai hatinya. Apalagi memukulnya. Sungguh, apa yang saya sandang, apa yang saya kerjakan sejak keluar pagi dan pulang petang untuk mereka yang di rumah, tidaklah sepadan dengan apa yang harus dialami wanita perkasa itu.

Wahai! Betapa benar sabda Rasul SAW bahwa sebaik-baik suami adalah yang terbaik akhlaknya kepada isterinya. Dengan membandingkan pengorbanan pada peristiwa persalinan ini saja, rasanya, Anda, para suami tidak ada apa-apanya jika dibandingkan wanita yang anak-anak Anda memanggil padanya ibu.

Karenanya, mendampinginya bersalin adalah sebuah terapi jiwa, sekaligus episode pembaharuan cinta padanya. Jadi, jika rasanya cinta saya padanya sedikit terdegradasi, barangkali sudah waktunya bagi saya mendampinginya lagi untuk bersalin.

Ha ha ha. Sepertinya senda-gurau. Tetapi percayalah, ini serius. Dan satu hal yang selayaknya diingat adalah bahwa yang dibutuhkannya pada saat genting itu bukanlah ibu ataupun mertua Anda. Ia hanya membutuhkan genggaman tangan Anda. Jadi, sudahkah Anda melakukannya?

Wa Allahu a’lam.

***

Bahtiar HS
http://bahtiarhs.multiply.com
source: eramuslim.com

Akhir yang Berbeda

Tatkala masih dibangku sekolah, aku hidup bersama kedua orangtuaku dalam lingkungan yang baik. Aku selalu mendengar doa ibuku saat pulang dari keluyuran dan begadang malam. Demikian pula ayahku, ia selalu dalam shalatnya yang panjang.

Aku heran, mengapa ayah shalat begitu lama, apalagi jika saat musim dingin yang menyengat tulang.Aku sungguh heran, bahkan hingga aku berkata kepada dirisendiri :

"Alangkah sabarnya mereka ... setiap hari begitu ... benar-benar mengherankan!"
Aku belum tahu bahwa di situlah kebahagiaan orang mukmin dan itulah shalat orang-orang pilihan. Mereka bangkit dari tempat tidurnya untuk bermunajat kepada Allah.
Setelah menjalani pendidikan militer, aku tumbuh sebagai pemuda yang matang. Tetapi diriku semakin jauh dari Allah padahal berbagai nasehat selalu kuterima dan kudengar dari waktu ke waktu. Setelah tamat dari pendidikan, aku ditugaskan di kota yang jauh dari kotaku. Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku agak ringan menanggung beban sebagai orang terasing.

Disana, aku tak mendengar lagi suara bacaan Al-Qur'an. Tak ada lagi
suara ibu yang membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup sendirian, jauh dari lingkungan keluarga yang dulu kami nikmati. Aku ditugaskan mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol. Di samping menjaga keamanan jalan, tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Pekerjaan baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi. Tetapi, hidupku bagai selalu diombang-ambingkan ombak.

Aku bingung dan sering melamun sendirian ... banyak waktu luang ...
pengetahuanku terbatas. Aku mulai jenuh ... tak ada yang menuntunku di bidang agama. Aku sebatang kara. Hampir tiap hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan orang-orang yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentuk penganiayaan lain. Aku bosan dengan rutinitas.

Sampai suatu hari terjadilah sebuah peristiwa yang hingga kini tak
pernah kulupakan. Ketika itu, kami dengan seorang kawan sedang bertugas disebuah pos jalan. Kami asyik ngobrol ... tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara benturan yang amat keras. Kami mengedarkan pandangan. Ternyata, sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain yang meluncur dari arah yang berlawanan.
Kami segera berlari menuju tempat kejadian untuk menolong korban.
Kejadian yang sungguh tragis. Kami lihat dua awak salah satu mobil dalam kondisi kritis. Keduanya segera kami keluarkan dari mobil lalu kami bujurkan di tanah. Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata pengemudinya telah tewas dengan amat mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua orang yang berada dalam kondisi koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan kalimat syahadat.

Ucapkanlah "Laailaaha Illallaah ... Laailaaha Illallaah .." perintah temanku.
Tetapi sungguh mengerikan, dari mulutnya malah meluncur lagu-lagu.
Keadaan itu membuatku merinding. Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi orang-orang yang sekarat ... Kembali ia menuntun korban itu membaca syahadat. Aku diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar.

Seumur hidupku, aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi dengan kondisi seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang bacaan syahadat. Tetapi ... keduanya tetap terus saja melantunkan lagu.
Tak ada gunanya ... Suara lagunya terdengar semakin melemah ... lemah dan lemah sekali. Orang pertama diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua.
Tak ada gerak ... keduanya telah meninggal dunia. Kami segera membawa mereka ke dalam mobil. Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatahpun. Selama perjalanan hanya ada kebisuan. Hening...

Kesunyian pecah ketika temanku mulai bicara. Ia berbicara tentang hakikat kematian dan su'ul khatimah (kesudahan yang buruk). Ia berkata "Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk..

Kesudahan hidup itu biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di dunia." Ia bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yang diriwayatkan dalam buku-buku islam. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri hidupnya sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin.
Perjalanan kerumah sakit terasa singkat oleh pembicaraan kami tentang kematian. Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya tatkala ingat bahwa kami sedang membawa mayat.

Tiba-tiba aku menjadi takut mati. Peristiwa ini benar-benar memberi
pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku shalat khusyu' sekali. Tetapi
perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu. Aku kembali pada
kebiasaanku semula ... Aku seperti tak pernah menyaksikan apa yang menimpa dua orang yang tak kukenal beberapa waktu yang lalu.

Tetapi sejak saat itu, aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang namanya lagu-lagu. Aku tak mau tenggelam menikmatinya seperti sedia kala. Mungkin itu ada kaitannya dengan lagu yang pernah kudengar dari dua orang yang sedang sekarat dahulu.

Kejadian yang menakjubkan ... Selang enam bulan dari peristiwa
mengerikan itu .... sebuah kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mataku.

Seseorang mengendarai mobilnya dengan pelan, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok di sebuah terowongan menuju kota. Ia turun dari mobilnya untuk mengganti ban yang kempes. Ketika ia berdiri dibelakang mobil untuk menurunkan ban serep, tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang. Lelaki itupun langsung tersungkur seketika.
Aku dengan seorang kawan, bukan yang menemaniku pada peristiwa pertama cepat-cepat menuju tempat kejadian. Dia kami bawa dengan mobil dan segera pula kami menghubungi rumah sakit agar langsung mendapat penanganan.

Dia masih sangat muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang yang taat menjalankan perintah agama. Wajahnya begitu bersih - mungkin karena sering tersiram air wudhlu. Ketika mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup panik, sehingga tak sempat memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu. Ketika kami membujurkannya di dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang keluar dari mulutnya.
Ia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an ... dengan suara amat lemah.

"Subhanallah ! dalam kondisi kritis seperti itu ia masih sempat melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an ? Darah mengguyur seluruh pakaiannya, tulang-tulangnya patah, bahkan ia hampir mati. Dalam kondisi seperti itu, ia terus melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan suaranya yang merdu.
Selama hidup, aku tak pernah mendengar bacaan Al-Qur'an seindah itu.
Dalam batin aku bergumam sendirian "Aku akan menuntunya membaca syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh temanku terdahulu ... apalagi aku sudah punya pengalaman." aku meyakinkan diriku sendiri.

Aku dan kawanku seperti terhipnotis mendengarkan suara bacaan Al-Qur'an yang merdu itu. Sekonyong-konyong sekujur tubuhku merinding, menjalar dan menyelusup ke setiap rongga. Tiba-tiba, suara itu terhenti. Aku menoleh kebelakang. Kusaksikan dia mengacungkan jari telunjuknya lalu bersyahadat.

Kepalanya terkulai, aku melompat ke belakang. Kupegang tangannya, degup jantungnya, nafasnya, tidak ada yang terasa. Dia telah meningal. Aku lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku menetes, kusembunyikan tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada kawanku kalau pemuda itu telah meninggal. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya. Demikian pula halnya dengan diriku. Aku terus menangis air mataku deras mengalir. Suasana dalam mobil betul-betul sangat mengharukan.

Sampai di rumah sakit .....Kepada orang-orang di sana, kami mengabarkan perihal kematian pemuda itu dan peristiwa menjelang kematiannya yang menakjubkan. Banyak orang yang terpengaruh dengan kisah kami, sehingga tak sedikit yang meneteskan air mata. Salah seorang dari mereka, demi mendengar kisahnya, segera menghampiri jenazah dan mencium keningnya.Semua orang yang hadir memutuskan untuk tidak beranjak sebelum mengetahui secara pasti kapan jenazah akan dishalatkan. Mereka ingin memberi penghormatan terakhir kepada jenazah. Semua ingin ikut menyolatinya.

Salah seorang petugas rumah sakit menghubungi rumah almarhum. Kami ikut mengantar jenazah hingga ke rumah keluarganya. Salah seorang saudaranya mengisahkan, ketika kecelakaan, sebetulnya almarhum hendak menjenguk neneknya di desa. Pekerjaan itu rutin ia lakukan setiap hari senin.
Disana almarhum juga menyantuni para janda, anak yatim dan orang-orang miskin.Ketika terjadi kecelakaan, mobilnya penuh dengan beras, gula, buah-buahan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Ia juga tak lupa membawa buku-buku agama dan kaset-kaset pengajian. Semua itu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang ia santuni. Bahkan ia juga membawa
permen untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil.

Wassalamu'alaikum.

Bila tiba saatnya kelak, kita menghadap Allah Yang Perkasa. hanya ada satu harap, semoga kita menjadi penghuni surga. Biarlah dunia jadi kenangan, juga langkah-langkah kaki yang terseok, di sela dosa dan pertaubatan. Hari ini, semoga masih ada usia, untuk mengejar surga itu, dengan amal-amal yang nyata : "memperbaiki diri dan mengajak orang lain "Rasulullah telah mengingatkan,"

Barangsiapa yang lambat amalnya, tidak akan dipercepat oleh nasabnya." Amin ya Rabbul alamin.......

-unknown source